Berak : Buang Air Besar, Buang Air Kecil dan Etikanya

Diposting pada

Berak : Buang Air Besar, Buang Air Kecil dan EtikanyaPada kesempatan ini kami Fiqih.co.id akan menerangkan tentang BAB yakni Buang Hajat baik buang air besar maupun buang air kecil. Dalam Pembahasan kali ini in syaa Allah kami mengutip dari fiqih madzhab syafi’i.

Daftar Isi

Berak : Buang Air Besar, Buang Air Kecil dan Etikanya

Buang air besar yakni Buang hajat itu adalah kesehatan bagi kita umat manusia. Dalam islam “Berak” yakni buang hajat itu ada etikanya agar buang hajat tersebut ternilai ibadah dan dapat pahala. Untuk lebih jelasnya mak mari kita baca saja uraiannya di bawah ini.

Mukadimah

السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهْ. بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. الْحَمْدُ لِلّٰهِ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ. وَصَلَّى اللهُ وَ سَلَّمَ عَلَى مَنْ لاَ نَبِيَ بَعْدَهُ. مُحَمَّدٍ رَّسُوْلِ اللهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُ. وَ بَعْدُ

Saudaraku Muslimiin muslimat, mukminiin mukminat para pembaca yang dirahmati Allah Subhanahu wa ta’ala. Untuk mengetahui Bab Buang Hajat baik buang air kecil maupun buang air besar itu sangat penting. Oleh karenanya mari kiat sama-sam mepelajarinya. Dalam Pembahasan Buang Hajat kami kutip keterangannya dari kitab fiqih yang bermadzhab Syafi’I yaitu Fathul-Qorib.

Wajibnya Orang Berak

Adapu kewajiban orang yang mau buang hajat itu telah diterangkan dalam fiqih sebagai berikut:

وَيَجْتَنِبُ وُجُوْبًا قَاضِى الْحَاجَةِ (اِسْتِقْبَالَ الْقِبْلَةِ) اْلآنَ وَهِيَ الْكَعْبَةَ (وَاسْتِدْبَارَهَا فِى الصَّخْرَاءِ) اِنْ لَمْ يَكُنْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةَ سَاتِرٌ. اَوْكَانَ لَمْ يَبْلُغْ ثُلْثَيْ ذِرَاعٍ اَوْ بَلَغَهُمَا وَبَعُدَ عَنْهُ اَكْثَرَ مِنْ ثَلَاثَةِ اَذْرَاعٍ بِذِرَاعِ الْاَدَمِيِّ كَمَا قَالَ بَعْضُهُمْ

Artinya: Dan Wajib hukumnya bagi orang yang buang hajat di tempat lapang agar menghindari menghadap dan membelakangi kiblat. Yang dimaksudkan adalah kiblat yang sekarang yaitu Ka’bah. Hukum Wajib tersebut adalah apabila di antara dia dan kiblat tidak ada penghalang yakni tabir, atau adanya penutup namun ukurannya tidak mencapai 2/3 hasta.

Dan Atau mencapai 2/3 hasta namun jaraknya dari dia lebih dari tiga hasta dengan ukuran hastanyanya anak Adam, sebagaimana yang diungkapkan oleh sebagian ulama.

Hukum Berak Dalam Bangunan

Adapun hokum Buang Hajat dalam bangunan sebagaiman tertulis dalam fiqih

وَالْبِنْيَانُ فِيْ هَذَا كَالصَّخْرَاءِ بِالشَّرْطِ الْمَذْكُوْرِ اِلَّاالْبِنَاءَ الْمُعَدَّ لِقَضاَءِ الْحَاجَةِ. فَلَا حُرْمَةَ وَخَرَجَ بِقَوْلِنَا اْلآنَ مَاكَانَ قِبْلَةً اَوَّلًا كَبَيْتِ الْمُقَدَّسِ فَاسْتِقْبَالُهُ وَاسْتِدْبَارُهُ مَكْرُوْهٌ

Artinya: Dalam hal ini, hukum buang hajat di dalam bangunan itu sama seperti di tanah lapang yaitu dengan syarat yang telah dijelaskan. Kecuali bangunan yang memang disediakan untuk buang hajat. Maka tidak ada hukum haram secara mutlak di sana.

Dengan ucapanku “kiblat yang sekarang”, mengecualikan tempat yang menjadi kiblat terdahulu seperti Baitul Maqdis, maka hukum menghadap dan membelakanginya adalah makruh.

Adab Buang Hajat

وَيَجْتَنِبُ اَدَابًا قَاضِى الْحَاجَةِ (الْبَوْلَ) وَالْغَائِطَ (فِى الْمَاءِ الرَّاكِدِ). اَمَّا الْجَارِىْ فَيُكْرَهُ فِى الْقَلِيْلِ مِنْهُ دُوْنَ الْكَثِيْرِ لَكِنِ الْاَوْلَى اِجْتِنَابُهُ وَبَحَثَ النَّوَوِيُّ تَحْرِيْمَهُ فِى الْقَلِيْلِ جَارِيًا كَانَ اَوْ رَاكِدًا

Bagi orang yangbuang hajat, sunnah menghindari kencing dan buang hajat di air yang diam tidak mengalir. Adapun air yang mengalir, maka di makruhkan buang hajat di air mengalir yang sedikit tidak yang banyak, akan tetapi yang lebih utama adalah menghindarinya.

Namun imam Nawawi membahas bahwa hukumnya adalah haram buang hajat di air yang sedikit, baik yang mengalir atau diam.

Buang Hajat di Bawah Pohon

وَيَجْتَنِبُ اَيْضًا الْبَوْلَ وَالْغَائِطَ (تَحْتَ الشَّجَرَةِ الْمُثْمِرَةِ) وَقْتَ الثَّمْرَةِ وَغَيْرِهِ. وَيَجْتَنِبُ مَاذُكِرَ (فِىْ الطَّرِيْقِ) الْمَسْلُوْكِ لِلنَّاسِ (وَ)فِى مَوْضِعِ (الظِّلِّ) صَيْفًا وَفِى مَوْضِعِ الشَّمْسِ شِتَاءً (وَ) فِى (الثَّقَبِ) فِى الْاَرْضِ وَهُوَ النَّازِلُ الْمُسْتَدِيْرُ وَلَفْظُ الثَّقَبِ سَاقِطٌ فِى بَعْضِ نُسَخِ الْمَتْنِ. (وَلَايَتَكَلَّمُ) اَدَابًا لِغَيْرِ ضَرُوْرَةٍ قَاضِى الْحَاجَةِ (عَلَى الْبَوْلِ وَالْغَائِطِ). فَاِنْ دَعَتْ ضَرُوْرَةٌ اِلَى الْكَلَامِ كَمَنْ رَاَى حَيَةً تَقْصِدُ اِنْسَانًا لَمْ يُكْرَهِ الْكَلَامُ حِيْنَئِذٍ

Artinya: Dan juga sunnah bagi orang yang buang hajat untuk menghindari kencing dan berak di bawah pohon yang bisa berbuah, baik di waktu ada buahnya ataupun tidak. Dan sunnah menghindari apa yang telah disebutkan di atas di jalan yang dilewati manusia. Dan di tempat berteduh saat musim kemarau. Dan di tempat berjemur saat musim dingin.

Dan di lubang yang ada di tanah, yaitu lubang bulat yang masuk ke dalam tanah. Lafadz “ats tsaqbu” tidak dicantumkan di dalam sebagian redaksi matan. Karena untuk menjaga etika maka orang yang buang hajat hendaknya tidak berbicara tanpa ada darurat saat kencing dan berak.

Jika dalam keadaan darurat untuk berbicara seperti orang yang melihat seekor ular yang hendak menyakiti seseorang, maka saat seperti itu tidak dimakruhkan untuk berbicara.

Makruhnya Buang Hajat

وَلَايَسْتَقْبِلُ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَلَا يَسْتَدْبِرُهَا اَيْ يُكْرَهُ ذَلِكَ حَالَ قَضَاءِ حَاجَتِهِ. لَكِنَ النَّوَوِيُّ فِى الرَّوْضَةِ وَشَرْحِ الْمُهَذَبِ قَالَ اِنَّ اسْتِدْبَارَهُمَا لَيْسَ بِمَكْرُوْهٍ. وَقَالَ فِى شَرْحِ الْوَسِيْطِ اِنَّ تَرْكَ اسْتِقْبا لِهِمَا وَاسْتِدْبَارِهِمَا سَوَاءٌ فَيَكُوْنُ مُبَاحًا. وَقَالَ فِى التَّحْقِيْقِ اِنَّ كَرَهَةَ اسْتِقْبَالِهِمَا لَااَصْلَ لَهَا وَلَايَسْتَقْبِلُ الخ سَاقِطٌ فِي بَعْضِ نُسَخِ الْمَتْنِ

Tidak menghadap dan membelakangi matahari dan rembulan. Maksudnya, bagi orang yang buang air besar dimakruhkan melakukan hal itu saat buang hajat.

Akan tetapi di dalam kitab ar-Raudlah dan Syarh al-Muhadzdzab, imam Nawawi berpendapat bahwa: Sesungguhnya membelakangi matahari dan rembulan saat buang hajat itu tidaklah dimakruhkan.

Di dalam kitab syarh al-Wasiht, beliau berkata bahwa sesungguhnya tidak menghadap dan tidak membelakangi keduanya adalah sama, maksudnya hukumnya mubah. Di dalam kitab at-Tahqiq, beliau berkata bahwa sesungguhnya kemakruhan menghadap matahari dan rembulan tidak memiliki dalil.

Ungkapan mushannif, “dan tidak menghadap ila akhir” tidak tercantum di dalam sebagian redaksi matan.

Berak Buang Air Besar Buang Air Kecil dan Etikanya
Berak Buang Air Besar Buang Air Kecil dan Etikanya

Kesimpulan

  1. Orang buang air besar di tanah lapang wajib tidak menghadap kiblat jika diantaranya tidak ada penghalang.
  2. Orang buang air besar di tanah lapang wajib tidak menghadap kiblat, meskipun diantaranya ada penghalang yang sudah lebih dari 2/3 hasta.
  3. Orang buang air besar di kamar kecil juga sama hukumnya dengan di tanah lapang, jika ukuran kamar kecilnya sudah berukuran lebar.
  4. Jangan buang air besar dan air kecil pada air yang tidak mengalir.
  5. Jangan buang air besar dan air kecil pada air yang mengalirnya tidak besar.
  6. Hindari buang air besar dan air kecil pada air yang mengalir meski mengalirnya besar.
  7. Jangan buang air besar dan air kecil di bawah pohon yang berbuah.
  8. Jangan buang air besar dan air kecil di bawah pohon tempat berteduh.
  9. Jangan buang air besar dan air kecil pada lubang-lubang meskipun itu lobang hewan.
  10. Jangan berbicara ketika sedang buang air besar dan air kecil kecuali terpaksa.
  11. Sebaiknya hindari menghadap matahari dan rembulan serta membelakanginya saat buang air besar dan air kecil.

Demikian inilah Uraian kami tentang Berak : Buang Air Besar, Buang Air Kecil dan Etikanya – Semoga uraian ini bisa menginspirasi para pembaca dan bermanfaat serta memberikan tambahan ilmu pengetahuan bagi para pemula. Mohon abaikan saja uraia kami ini jika pembaca tidak sependapat. Terima kasih atas kunjungannya.

بِاللهِ التَّوْفِيْقُ وَالْهِدَايَةُ و الرِّضَا وَالْعِنَايَةُ وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهْ