Daftar Isi
Keutamaan Memakai Surban
Surban atau imamah merupakan salah satu pakaian khas yang sudah dikenal sejak zaman Rasulullah ﷺ. Ia bukan hanya sekadar kain yang dililitkan di kepala, tetapi juga memiliki makna yang mendalam, baik secara syariat, budaya, maupun simbol kehormatan. Dalam berbagai riwayat, Rasulullah ﷺ, para sahabat, dan ulama setelahnya sering terlihat mengenakan surban, sehingga umat Islam menilai surban sebagai salah satu sunnah berpakaian yang sarat dengan keutamaan.
Artikel ini akan mengulas secara mendalam mengenai keutamaan memakai surban, sejarahnya, dalil-dalil yang berkaitan, serta pandangan ulama tentang amalan berpakaian ini.
Sejarah dan Asal-Usul Surban
Surban sudah dikenal sejak sebelum kedatangan Islam, khususnya di wilayah Jazirah Arab. Masyarakat gurun menggunakan kain panjang yang dililitkan di kepala sebagai pelindung dari panas terik matahari, debu, serta dinginnya malam. Setelah datangnya Islam, Rasulullah ﷺ juga mengenakan surban dalam berbagai kesempatan, baik ketika bepergian, beribadah, maupun dalam peperangan. Hal ini menandakan bahwa surban bukan hanya budaya, melainkan juga pakaian yang mendapat pengakuan syariat.
Dalam beberapa catatan sejarah, Rasulullah ﷺ memiliki surban berwarna hitam dan putih. Beliau sering melilitkan surban di kepala, terkadang dengan menjulurkan salah satu ujungnya ke belakang. Para sahabat seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali juga dikenal sebagai pengguna surban. Bahkan, generasi setelahnya, para tabi’in dan ulama, menjadikan surban sebagai bagian dari identitas keilmuan dan kehormatan.
Dalil dan Riwayat Tentang Surban
Terdapat sejumlah hadits yang menunjukkan keutamaan memakai surban, meskipun sebagian ulama berbeda pendapat tentang tingkat kesahihannya. Di antara riwayat tersebut adalah:
Hadits tentang surban sebagai penanda keislaman:
Rasulullah ﷺ bersabda:
وقال صلى الله عليه وسلم: فَرْقُ مَا بَيْنَنَا وَبَيْنَ المُشْرِكينَ العَمَائِمُ عَلَى القَلاَنِسِ
“Perbedaan antara kita dengan orang musyrik adalah memakai surban di atas kopiah.”
(HR. Abu Dawud, dinilai hasan oleh sebagian ulama)
Hadits ini menunjukkan bahwa surban menjadi identitas khusus umat Islam yang membedakan mereka dari kaum musyrikin pada masa itu.
Hadits tentang keutamaan surban pada hari Jumat:
Disebutkan dalam beberapa riwayat bahwa Rasulullah ﷺ pernah keluar pada hari Jumat dengan memakai surban hitam. Ini menjadi isyarat bahwa memakai surban di hari-hari istimewa seperti Jumat memiliki nilai yang lebih tinggi.
Diantara Hadits tentang memakai surban:
وقال صلى الله عليه وسلم: تَعَمَّموا فَإنَّ المَلائِكَةَ تَعَمَّمَتْ. وقال صلى الله عليه وسلم: إنَّ الله تَعَالى وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى أَصْحَابِ العَمَائِمِ يَوْمَ الجُمعةِ (رواه الطبراني عن أبي الدرداء وهو حديث ضعيف كذا قاله العزيزي
“Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Berserbanlah kalian, karena para malaikat juga berserban.’ Dan beliau ﷺ juga bersabda: ‘Sesungguhnya Allah Ta‘ala dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang memakai serban pada hari Jumat.’ (Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dari Abu Darda’, dan hadits ini berstatus dha‘if sebagaimana dikatakan oleh al-‘Azizi).”
Hadits tentang malaikat yang ikut serta dalam perang Badar dengan memakai surban:
Dalam riwayat Imam Muslim, disebutkan bahwa para malaikat yang membantu kaum Muslimin di perang Badar turun dengan memakai surban berwarna putih, kecuali Jibril yang memakai surban kuning. Ini menunjukkan simbol kemuliaan dan kehormatan.
Walaupun sebagian riwayat mengenai surban ada yang diperdebatkan kesahihannya, namun secara umum para ulama sepakat bahwa Rasulullah ﷺ dan para sahabat menjadikan surban sebagai bagian dari pakaian sehari-hari.
Pandangan Ulama tentang Surban
Para ulama berbeda pendapat dalam menilai hukum memakai surban. Namun secara garis besar, mereka menganggapnya sebagai amalan yang dianjurkan (sunnah), terutama ketika melaksanakan ibadah atau kegiatan yang bersifat resmi. Berikut beberapa pandangan ulama:
-
Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ menyebutkan bahwa memakai surban ketika shalat termasuk sunnah, karena ia menambah kesempurnaan penampilan seorang Muslim saat beribadah.
-
Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj menjelaskan bahwa memakai surban dianggap sebagai bentuk mengikuti sunnah Rasulullah ﷺ, sehingga berpahala bagi yang mengamalkannya.
-
Ulama dari kalangan tasawuf menilai bahwa surban bukan hanya pakaian luar, tetapi juga simbol ilmu, kewibawaan, dan ketakwaan. Oleh sebab itu, tidak sedikit para kiai, habaib, dan guru spiritual di Nusantara menjadikan surban sebagai identitas keilmuan dan kehormatan.
Keutamaan Memakai Surban
Ada beberapa keutamaan yang dapat diperoleh seorang Muslim ketika memakai surban, baik secara lahiriah maupun batiniah:
1. Mengikuti Sunnah Rasulullah ﷺ
Memakai surban termasuk bagian dari sunnah fi’liyah (perbuatan) Nabi. Menghidupkan sunnah berarti menunjukkan kecintaan kepada Rasulullah ﷺ. Sebagaimana firman Allah:
قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ٣١ ١
“Katakanlah: Jika kamu benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu.” (QS. Ali Imran: 31)
2. Identitas Keislaman
Surban menjadi salah satu ciri khas umat Islam sejak masa awal. Dengan mengenakannya, seorang Muslim menjaga identitas sekaligus meneladani tradisi Rasulullah ﷺ.
3. Menambah Kewibawaan dan Kehormatan
Seorang Muslim yang memakai surban sering terlihat lebih berwibawa dan berkarisma. Hal ini terbukti dalam tradisi para ulama dan kiai di pesantren, yang menjadikan surban sebagai simbol keilmuan dan kehormatan.
4. Meningkatkan Kekhusyukan dalam Ibadah
Ketika seorang Muslim mengenakan surban saat shalat atau membaca Al-Qur’an, hal itu dapat menambah kekhusyukan dan keseriusan dalam beribadah. Sebab, ia merasa sedang menghiasi diri untuk menghadap Allah dengan penampilan terbaik.
5. Mendapat Keutamaan Khusus pada Hari Jumat dan Hari Raya
Beberapa riwayat menyebutkan bahwa Rasulullah ﷺ memakai surban pada hari Jumat dan hari raya. Mengikuti amalan ini tentu menjadi sarana meraih keutamaan di hari-hari istimewa tersebut.
Surban dalam Tradisi Nusantara
Di Indonesia, surban telah menjadi bagian penting dalam budaya Islam. Para ulama Nusantara sejak dahulu hingga kini sering memakai surban, baik ketika mengajar, berkhutbah, atau menghadiri acara keagamaan. Surban yang dikenakan biasanya dililitkan di leher atau pundak, dan sebagian dipakai di kepala. Warna surban juga memiliki makna simbolis, misalnya putih sebagai lambang kesucian, hijau sebagai lambang kesuburan dan Islam, sedangkan hitam melambangkan kewibawaan.
Tradisi pesantren di Jawa, Madura, Sumatra, hingga Sulawesi tidak terlepas dari surban. Bahkan, di kalangan masyarakat awam, surban sering diidentikkan dengan ulama atau orang alim. Hal ini menambah nilai penghormatan terhadap surban di tengah kehidupan umat Islam di Nusantara.
Cara Memakai Surban dengan Baik
Bagi seorang Muslim yang ingin menghidupkan sunnah ini, penting untuk mengetahui adab dalam memakai surban:
-
Memulai dengan niat mengikuti sunnah Rasulullah ﷺ.
-
Melilitkan surban di atas kopiah atau peci.
-
Menjulurkan ujung surban ke belakang, sebagaimana yang dilakukan Nabi.
-
Menjaga kebersihan dan kerapian surban agar sesuai dengan adab berpakaian Islami.
Penutup
Keutamaan memakai surban tidak hanya terletak pada nilai simbolisnya, tetapi juga pada hakikatnya sebagai bagian dari sunnah Rasulullah ﷺ. Dengan mengenakan surban, seorang Muslim tidak sekadar melilitkan kain di kepala, melainkan juga meneladani tradisi mulia yang diwariskan oleh Nabi dan para sahabat. Ia menjadi identitas keislaman, simbol kewibawaan, serta sarana memperindah ibadah kepada Allah.
Meski memakai surban bukan kewajiban, namun menghidupkan sunnah ini bisa membawa pahala, meningkatkan rasa cinta kepada Rasulullah ﷺ, serta mempererat hubungan dengan tradisi ulama dan umat Islam terdahulu. Oleh karena itu, menjaga dan melestarikan kebiasaan memakai surban adalah bentuk penghormatan terhadap warisan sunnah dan khazanah Islam yang sangat berharga.