Hukum Meninggalkan Towaf Wada

Diposting pada

Hukum Meninggalkan Towaf Wada, Dalam kesempatan ini Fiqih.co.id akan menyampaikan masalah Towaf Wada.

Daftar Isi

Hukum Meninggalkan Towaf Wada

Dalam pada ini Kami tidak bermaksud mengajari bebek berenang. Yang Pasti pembaca jauh lebih ahli dalam masalah ini, akan tetapi  barangkali masih ada di antara saudara-saudara kita yg menunaikan ibadah umrah atau pun ibadah haji mereka masih memerlukan uraian ini.

Dengan demikian mudah-mudahan tulisan ini sedikit membantu para jamaah haji ataupun jamaah umrah. Masalahannya saya (M. Asmawi, ZA) sering kali ditanya mengenai perkara ini.

Saudaraku semua dhuyufullah, dhuyufur-rahman melalui tulisan ini saya terangkan bahwa:

Towaf Wada, atau yang dikenal juga sebagai Towaf Perpisahan, adalah salah satu bagian dari wajib haji atau wajib umrah yang dilakukan oleh jemaah haji ketika mereka hendak meninggalkan Mekah setelah menyelesaikan rangkaian ibadah haji atau umrah.

Towaf ini biasanya dilakukan sebagai ibadah terakhir sebelum pulang ke negara asal atau ke tempat lain setelah menyelesaikan ibadah haji atau umrah, namun perlu diketahui bahwa tawaf wada ini tidak wajib bagi penduduk Makkah atau para mukimin Makkah yang tidak akan bepergian jauh.

Towaf Wada
Towaf Wada

Dam Wajib

Maaf saya mengutip dari Buku Ringkasan Dam karya saya sendiri (Asmawi) saya menuqil dari beberapa kitab fiqih, salahsatunya adalah (Al-Mughni fi fiqhil-haj wal-‘umrah, Al-Fadhilah Syekh al-’Alamah Abdullah bin  Abdur rohman Al-Jabirin).

Dalam Risalah tersebut pada halaman 69 saya tulis sebagai berikut:

النَّوْعُ الثَّانِى مِنَ الدِّمَاءِ

إِذَا تَرَك وَاجِبًا مِنْ وَاجِبَاتِ الْحَجِّ، أَوِ الْعُمْرَةِ : كَرَمْيِ الْجِمَارِ، أَوْ الَمَبِيْتِ بِمِنَى، أَوْ الْإِحْرَامِ مِنَ الْمِيْقَاتِ، أَوْ التَّلْبِيَةِ – عِنْدَ مَنْ يَرَى أَنَّهَا وَاجِبُ – أَوْ تَرَكَ طَوَافَ الْوَدَاعِ، فَيَجِبُ بِتَرْكِ الْوَاجِبِ دَمٌ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ الدَّمَ، أَوْ لَمْ يَجِدْ ثَمْنَهُ، صَامَ عَشْرَةَ  أَيَّامْ، (ثَلَاثَةَ أَيَّامِ فِيْ الْحَجِّ، وَسَبْعَةً إِذَا رَجَعَ)، كَدَمِّ التَّمَتُّعِ وَالْقِرَانِ،

Artinya: Adapun Macam yang kedua dari beberapa dam itu ialah:

Apabila ia telah meninggalkan satu kewajiban dari beberapa wajib haji atau wajib umroh, seperti melontar jamaroh, mabit di Mina, berihrom dari miqot atau bertalbiyah menurut orang yang berpandangan bahwa Talbiyah adalah wajib, atau meninggalkan Towaf wada’, maka wajib membayar dam akibat meninggalkan yang wajib, jika ia tidak bisa mendapatkan dam atau tidak bisa mendapatkan harganya dam, maka ia wajib berpuasa sepuluh hari, (tiga hari pada waktu haji dan tujuh hari lagi ketika sudah kembali ke tanah air) sebagaimana wajibanya membayar dam haji tamattu’ dan haji qiron.

Penjelasan Meninggalkan Wajib Haji

Sudah disepakati siapapun kita jika menunaikan haji ataupun umrah sedangkan kita bukan peduduk Makkah atau juga bukan Mukimin Makkah, maka sudah barang tentu ketika kita selesai menjalankan segala program yang direncanakan, kemudian ketika kita akan berpindah tempat misal ke Madinah atau kita mau pulang ke negara asal, maka kita tentinya harus menunaikan tawaf wada.

Dalam kepulangan kita itu atinya kita akan meninggalkan Baitullah yang jarak tempuhnya cukup jauh, dengan demikian maka wajiblah kita untuk menunaikan Tawaf Wada.

Dan apabila kita termasuk kepada ulama yang berpendapat bahwa tawaf wada itu bagian dari wajib haji atau wajibnya umarah, maka jika kita meninggalkannya tanpa adanya udzur syar’i maka jelaslah yang bersangkutan itu wajib bayar dam seperti halnya yang sudah diterangkan di atas.

Masih Mengenai Tawaf Wada

Syaikh Sa’id bin Abdul Qodir Basyanfar dalam kitabnya Al-Mughniy menjelaskan pendapat Imam Nawawi tentang apakah tawaf wada. Pendapat tersebut diambil dalam kitab al Majmu’ juz 8, hlm. 256.

“Bahwa dalam masalah tawaf wada itu, ada perbedaan pendapat. Imam Haramain dan Imam Ghazali berpendapat bahwa tawaf wada’ itu bagian dari manasik,” katanya.

Bagi orang yang berhaji dan umroh, ia tidak wajib tawaf wada, jika keluar dari Tanah Suci Makkah untuk urusannya sendiri. Imam Baghawi, Imam Mutawalli, dan imam lainnya berpendapat bahwa tawaf wada itu bukan bagian dari manasik, tetapi merupakan kegiatan ibadah yang berdiri sendiri.

Setiap orang yang akan meninggalkan Tanah Suci Makkah sejauh perjalanan panjang, maka diperbolehkan untuk mengqaslar sholat, diperintahkan melakukan tawaf wada. Terlepas ia orang Makkah atau luar Makkah.

Pendapat kedua itu lebih sahih menurut Imam Raf’i dan imam lainnya dari golongan ulama yang ahli meneliti masalah agama.

Hukum dan Pentingnya Towaf Wada

Towaf Wada dianggap wajib dalam ibadah haji bagi orang yang akan meninggalkan Mekah, berdasarkan hadis-hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah ﷺ memerintahkan para jemaah untuk melakukan towaf ini sebelum mereka meninggalkan kota Mekah. Towaf Wada ini menjadi semacam penutup dan perpisahan sebelum jemaah meninggalkan kota suci.

Apa yang Terjadi Jika Meninggalkan Towaf Wada?
Jika seseorang meninggalkan atau tidak melakukan Towaf Wada tanpa udzur atau alasan yang sah, maka itu dianggap sebagai pelanggaran kewajiban dalam ibadah haji atau jama’ah ibadah umrah. Dalam situasi ini, jemaah haji atau jamaah umrah umumnya diwajibkan untuk membayar dam (denda atau kompensasi) sebagai bentuk kompensasi atas kelalaian tersebut.

Pengecualian

Namun, ada beberapa pengecualian di mana jemaah mungkin tidak perlu melakukan Towaf Wada atau membayar dam jika mereka tidak melakukannya:

  • Wanita yang sedang Haid atau Nifas: Mereka tidak diwajibkan melakukan Towaf Wada karena alasan syar’i.
  • Orang yang Sakit atau Memiliki Kondisi Khusus: Mereka yang tidak dapat melakukan Towaf Wada karena kondisi fisik atau medis tertentu mungkin dibebaskan dari kewajiban ini, namun sebaiknya tawaf wadanya itu dibadalkan jika memungkinkan.
  • Orang yang Meninggal: Jika seorang jemaah haji meninggal sebelum melakukan Towaf Wada, tentu tidak ada kewajiban untuk melakukannya atau membayar dam.

Baca ini Masalah Wada.

Demikian uraian ringkas dari kami fiqih.co.id – Jika Anda memiliki pertanyaan lebih lanjut tentang hukum Towaf Wada atau aturan-aturan khusus mengenai ibadah haji atau umrah, disarankan untuk berkonsultasi dengan ulama atau pembimbing haji setempat, karena mereka dapat memberikan informasi yang lebih rinci dan sesuai dengan konteks spesifik.