Syarat Sah Jumat Hanafiyah, Yang Perlu Juga Kita Pelajari & Fahami

Diposting pada

Syarat Sah Jumat Hanafiyah, Yang Perlu Juga Kita Pelajari & Fahami – Para Pembaca yang dirahmati Allah, fiqih.co.id pada halaman ini akan sampaika materi tentang Syarat sahnya jum’at menurut Madzhab Hanafi. Dalam pada ini kami kami mengutip dari Kitab Madzahibul Arba’ah. Untuk lebih lengkapnya silahkan antum baca saja uraian ringkasnya di bawah ini.

Daftar Isi

Syarat Sah Jumat Hanafiyah, Yang Perlu Juga Kita Pelajari & Fahami

Syarat ini adalah merupakan suatu ketentuan yang harus dipenuhi. Jika Syarat tersebut tidak terpenuhi maka pekerjaannya dinyataka tidak sah. Oleh sebab itu bagaimana pun yang nama syarat itu sudah barang tentu harus terpenuhi.

Arti sah adalah “lulus” yakni sudah mencukupi segala ketentuan yang diberlakukan pada suatu pekerjaan tertentu.

Dalam mazhab hanafi selain dari syarat wajibnya jumat, juga ada yang dsebut dengan syarat sahnya penyelenggaraan jumat jum’at.

Syarat Sah Penyelengaraan Jumat

Sbagaimana diterangkan dalam kitab Madzahibul arba’ah seperti dalam teks aslinya sebagai berikut;

فَـلَا تَجِبُ عَلَى مَن كَانَ مُقِيْمًا بِقَرْيَةٍ لِقَوْلِ عَلِيٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: ﴿لَا جُمْعَةَ وَلَا تَشْرِيْقَ وَلَا صَـلَاةَ فِطْرٍ وَلَا أَضْحَى إِلَّا فِيْ مِصْرٍ جَامِعٍ أَوْ مَدِيْنَةٍ عَظِيْمَةٍ﴾ رَوَاهُ اِبْنُ أَبِيْ شَيْبَةَ فِيْ (مُصَنِفِهِ) مَوْقُوْفًا عَلَى عَلِيٍّ  رَضِيَ اللهُ عَنْهُ. وَكَذَلِكَ رَوَاهُ عَبْـدُ الرَّزَاقِ

Adapun syarat sah penyelenggaraan shalat Jum’at menurut madzhab ini jumlahnya ada tujuh;

Pertama: Menetap di wilayah berperkotaan. Dengan syarat ini maka pelaksanaan shalat Jum’at di pelosok kampung dan di perdusunan tidak diwajibkan, karena diriwayatkan dari Ali, bahwa dia berkata, “Tidak perlu menyelenggaraan shalat Jum’at, tasyriq, shalat idul fitri, dan shalat idul adha, kecuali di wilayah berperadaban atau di kota besar.” (HR. Abdurrazzag dan Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Mushannafinya secara mauguf).

Perbedaan Kota dan pelosok

Perbedaan antara perkotaan dan perdusunan adalah bahwa di perkotaan itu biasanya masjid yang terbesar pun tidak akan cukup untuk menampung seluruh jamaah shalat Jum’at yang datang, meskipun tidak semua masyarakat kota datang ke masjid tersebut.

Oleh karena itu sebagian besar ulama madzhab Hanafi memfatwakan hukum ini. Dengan syarat tersebut, maka shalat Jum’at yang dilakukan di masjid mana pun di perkotaan hukumnya sah.

Apabila seseorang tinggal di sebuah perkampungan dekat kota yang tidak memenuhi syarat tersebut (biasanya disebut dengan tempat singgah karena penduduknya sering berpindah-pindah tempat), maka tidak sah baginya dan bagi warga perkampungannya yang lain untuk menyelenggarakan shalat Jum’at apabila jarak antara perkampungan itu dengan kota tidak lebih dari satu farsakh (15 km), dan mereka diwajibkan untuk pergi ke kota terdekatnya untuk melaksanakan shalat Jum’atnya.

Pendapat Yang Cukup Masyhur Dalam Madzhab Ini

Sedangkan pendapat yang cukup masyhur dalam madzhab ini menyebutkan bahwa perkotaan adalah setiap wilayah yang memiliki pemimpin dan hakim yang dapat mengambil sebagian besar keputusan hukumnya sendiri meskipun tidak benar-benar diterapkan secara keseluruhan.

Dengan adanya definisi seperti ini, maka dapat dikatakan bahwa penyelenggaraan shalat Jum’at yang dilakukan di daerah-daerah seperti itu maka tidak sah shalatnya.

Namun sebagian besar ulama madzhab ini memilih pendapat yang pertama untuk lebih bersikap kehati-hatian, apalagi para ulama madzhab lain sama sekali tidak mensyaratkan hal ini. Oleh karena itu pendapat yang seharusnya dipilih oleh para pengikut madzhab ini adalah pendapat pertama, karena dengan memilih pendapat yang terakhir berarti mereka tidak bersikap hati-hati untuk agama, terlebih dengan meninggalkan shalat Jum at akan membuat mereka merendahkan pelaksanaan kewajiban yang diperintahkan atas mereka.

Padahal ada sebuah pernyataan dari Az-Zaila’i dalam kitabnya Nashbu Ar-Rayah, tentang riwayat Ibnu Abi Syaibah yang diriwayatkan dari Ali secara mauquf, bahwa tidak ada hadits satu pun yang diriwayatkan dari Nabi shollallhu ‘alahi wa sa;;am terkait dengan hal ini.

Kalaupun seandainya itu hadits shahih, dari mana pula mereka mendapatkan definisi kota seperti itu. Definisi yang benar jelas berbeda, dan bersandar kepada definisi itu tidak ada faedahnya sama sekali. Oleh karena itu para ulama peneliti dalam madzhab ini hanya menganggap definisi yang pertama, bahwa kota yang dimaksud adalah kota dengan penduduk yang berkewajiban untuk melaksanakan shalat tidak akan tertampung semuanya dalam satu masjid yang paling besar di sana, meskipun mereka semua tidak pernah hadir semuanya dalam masjid tersebut.

Syarat Sah Penyelengaraan Jumat yang kedua

Syarat sah jumat Hanafiyah, Yakni syarat sahnya menyelenggaraka jumat yang Kedua adalah; izin dari pemerintah setempat atau perwakilannya. Jika seseorang telah diberi izin untuk menjadi imam masjid lalu dia mengangkat seseorang untuk mewakilinya, maka orang tersebut tidak perlu mendapatkan persetujuan lagi dari pemerintah. Namun beberapa ulama madzhab ini ada juga yang berpendapat bahwa wakil dari imam juga harus mendapatkan persetujuan dari pemerintah.

Syarat Sah Penyelengaraan Jumat ketiga dalam mazhab ini

Syarat sah jumat Hanafiyah, Yakni syarat sahnya menyelenggaraka jumat yang Ketig adalah; masuk waktu shalat zuhur. Dengan syarat ini maka tidak sah shalat Jum’at yang dilakukan sebelum waktu zuhur tiba. Sebagaimana diketahui bahwa masuk waktu adalah syarat sahnya shalat secara umum, bukan hanya pada shalat Jum’at saja, sebagaimana syarat ini juga menjadi syarat wajib untuk melaksanakan shalat, namun madzhab ini menyebutkan syarat ini kembali di sini untuk lebih mempermudah saja.

Adapun jika waktunya telah lewat saat sedang melaksanakannya, maka shalat itu batal, meskipun sudah duduk terakhir dan membaca tasyahud. Sebagaimana diketahui bahwa waktu shalat Jum’at itu sama seperti waktu shalat zuhur, yaitu sejak dari tergelincirnya matahari hingga bayangan sesuatu sama tingginya dengan tinggi aslinya.

Syarat Sah Penyelengaraan Jumat keempat s/d ke enam

Syarat sah jumat Hanafiyah, Yakni syarat sahnya menyelenggaraka jumat yang Keempat adalah; khutbah. Penjelasan mengenai hal ini akan dibahas sesaat lagi.

Kelima: khutbahnya dilakukan sebelum pelaksanaan shalat.

Keenam: dilakukan secara berjamaah. Dengan syarat ini maka tidak sah shalat Jum’at jika dilakukan secara perseorangan. Disyaratkan pula oleh madzhab ini bahwa jumlah jamaahnya minimal tiga orang di luar imam, meskipun mereka tidak menghadiri khutbahnya. Insya Allah penjelasan mengenai hal ini akan diterangkan pada pembahasan mengenai jamaah shalat Jum’at.

Syarat Sah Penyelengaraan Jumat ketujuh

Syarat sah jumat Hanafiyah, Yakni syarat sahnya menyelenggaraka jumat yang Ketujuh adalah; perizinan masuk secara menyeluruh. Dengan syarat ini maka tidak sah shalat Jum’at yang dilakukan di sebuah tempat di mana ada orang yang hendak melakukan shalat Jum’at dilarang untuk masuk ke dalamnya.

Apabila imam Jum at menyelenggarakan shalat Jum’at di rumah pribadinya, maka shalat Jum’atnya sah meskipun dimakruhkan, namun dengan syarat pintunya harus selalu terbuka untuk umum dan siapa pun diperbolehkan untuk masuk ke dalamnya.

Hal yang sama juga berlaku untuk sebuah benteng dan baluarti, asalkan tidak sulit untuk menutupnya ketika ada kekhawatiran musuh akan melakukan serangan. Sedangkan shalat Jum’at di dalamnya tetap sah meski benteng tersebut lebih sering dalam keadaan tertutup, asalkan siapa pun yang hendak memasukinya untuk shalat Jum’at diberikan izin. Adapun penyelenggaraan shalat Jumat juga dianggap sahjika dilakukan di tempat terbuka (tidak beratap), dengan dua syarat yaitu dengan seizin imam dan letaknya tidak lebih satu farsakh dari permukiman warga, atau tempatnya masih terhubung dengan permukiman warga, seperti tempat balap kuda atau yang lainnya.

Syarat Sah Jumat Hanafiyah
Syarat Sah Jumat Hanafiyah

Demikan materi fiqih tentang; Syarat Sah Jumat Hanafiyah, Yang Perlu Juga Kita Pelajari & Fahami -Semoga bermanfaat untuk kita semua. Abaikan saja materi ini jika pembaca merasa kurang pas. Terimakasih atas kunjungannya, Wallahul Muwaffiq.