Membuat Tempat Imam dan Makmum

Diposting pada

Daftar Isi

Imam dan Makmum Sebaiknya dibuat rata atau tinggi tempat imamnya?

Dalam hal ini Fiqih menyampaikan; Bahwa Pertanyaan ini seringkali menjadi bahan obrolan di kalangan umat Islam. Namun, tidak ada ketentuan yang secara spesifik mengatur tentang tinggi atau rata tempat imam dan makmum dalam shalat. Hal ini lebih merupakan masalah preferensi dan kenyamanan dalam melaksanakan ibadah.

Beberapa argumen mengatakan bahwa membuat tempat imam lebih tinggi dari makmum memudahkan makmum untuk melihat gerakan imam, sehingga mereka dapat mengikuti shalat dengan lebih baik. Selain itu, membuat tempat imam lebih tinggi juga memberikan kesan kehormatan dan penghormatan kepada imam sebagai pemimpin shalat.

Di sisi lain, beberapa ulama berpendapat bahwa membuat tempat imam dan makmum menjadi rata lebih mencerminkan kesetaraan di antara mereka dalam ibadah. Ini dapat menciptakan ikatan yang lebih kuat antara imam dan makmum, serta menghindari kesan superioritas atau inferioritas di antara mereka.

Pada akhirnya, keputusan untuk membuat tempat imam dan makmum menjadi rata atau tinggi tergantung pada kebiasaan dan tata cara di masing-masing masjid atau komunitas Muslim. Yang terpenting, kenyamanan dalam ibadah dan menjaga suasana yang penuh dengan rasa hormat dan saling menghargai di antara semua jamaah adalah yang utama.

Imam dan Makmum Sebaiknya dibuat rata

membuat tempat imam dan makmum
membuat tempat imam dan makmum

Membuat tempat imam dan makmum menjadi rata merupakan pilihan yang sering dipilih dalam banyak masjid. Hal ini karena memperlihatkan kesetaraan di antara imam dan makmum dalam menjalankan ibadah shalat. Dengan kedudukan yang sejajar, semua jamaah merasa lebih bersatu dan memiliki peran yang sama dalam ibadah.

Selain itu, membuat tempat imam dan makmum rata juga dapat menciptakan suasana yang lebih harmonis dan menghindari kesan superioritas atau inferioritas di antara mereka. Ini menguatkan ikatan kebersamaan dalam ibadah, di mana semua jamaah merasakan kesetaraan dalam mempersembahkan ibadah kepada Allah.

Pengaturan yang rata juga dapat memudahkan komunikasi antara imam dan makmum, serta mempererat ikatan kebersamaan dalam pelaksanaan ibadah shalat. Dengan demikian, membuat tempat imam dan makmum rata dapat menjadi pilihan yang bijaksana untuk menciptakan suasana ibadah yang penuh dengan kedamaian dan persatuan.

Membuat tempat imam dan makmum

Membuat tempat imam dan makmum menjadi sejajar atau rata merupakan praktik yang umum di banyak masjid. Ketika tempat imam dan makmum dibuat rata, hal ini menciptakan kesan kesetaraan di antara semua jamaah yang sedang melaksanakan shalat. Tidak ada perbedaan tinggi atau posisi yang menonjol antara imam dan makmum, sehingga semua jamaah merasa berada dalam satu barisan yang sama.

Praktik ini juga menggambarkan persatuan dan kebersamaan dalam ibadah, di mana semua jamaah dianggap memiliki peran yang sama dalam melaksanakan shalat. Tidak ada perbedaan status atau hierarki di antara mereka, melainkan semua sama-sama berdiri di hadapan Allah SWT.

Selain itu, dengan membuat tempat imam dan makmum rata, komunikasi antara imam dan makmum juga dapat menjadi lebih baik. Hal ini karena imam dan makmum berada pada posisi yang sejajar, sehingga lebih mudah untuk berinteraksi dan menyampaikan petunjuk selama pelaksanaan shalat.

Dengan demikian, membuat tempat imam dan makmum rata merupakan pilihan yang baik dalam menciptakan suasana ibadah yang penuh dengan kesetaraan, kebersamaan, dan persatuan di antara semua jamaah.

Salah satu dalil yang digunakan sebagai dasar dari pendapat ini ialah riwayat dari Abu Dawud dan Hakim.

وَيُكْرَهُ أَنْ يَرْتَفِعَ أَحَدُ مَوْقِفَيْ الْإِمَامِ وَالْمَأْمُومِ عَلَى الْآخَرِ لِأَنَّ حُذَيْفَةَ أَمَّ النَّاسَ عَلَى دُكَّانٍ في الْمَدَائِنِ فَأَخَذَ ابْنُ مَسْعُودٍ بِقَمِيصِهِ فَجَذَبَهُ فَلَمَّا فَرَغَ من صَلَاتِهِ قال أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّهُمْ كَانُوا يَنْهَوْنَ عَنْ ذَلِكَ قَالَ بَلَى قَدْ ذَكَرْتُ حِيْنَ جَذَبْتنِي رَوَاهُ أبو دَاوُدَ وَالْحَاكِمُ وقال صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ الشَّيْخَيْنِ، وَقِيسَ بِذَلِكَ عَكْسُهُ

“Dimakruhkan salah satu tempat atau posisi imam dan makmum lebih tinggi atas yang lain karena ada riwayat yang menyatakan bahwa sahabat Hudzaifah RA pernah mengimami orang-orang di kota Madain di atas dukkan, lantas Ibnu Masud RA memegang gamis dan menariknya. Ketika Hudzaifah selesai dari shalatnya, Ibnu Masud berkata, “Apakah kamu tidak tahu bahwa mereka melarang hal itu.” Hudzaifah pun menjawab, ‘Tentu aku tahu, sungguh aku ingat ketika kamu menarik gamisku.

” Ini telah diriwayatkan Abu Dawud dan Hakim. Hakim berkata bahwa riwayat ini adalah sahih sesuai persyaratan kesahihan yang ditetapkan Bukhari dan Muslim. Sebaliknya (makmum lebih tinggi dari imam) dikiaskan dengan hal tersebut. (Lihat Zakariya al-Anshari, Asnal Mathalib Syarhu Raudlatit Thalib, Beirut, Darul Kutub al-Ilmiyah, cet ke-1, 1422 H/2000 M, juz, I, halaman 234).
Namun kemakruhan tersebut bisa berganti menjadi kesunahan apabila ada kebutuhan atau hajat yang menghendaki tempat imam lebih tinggi seperti adanya tujuan untuk memberikan pengajaran shalat sehingga bisa terlihat jelas oleh semua makmum.

فَإِنْ احْتَاجَهُ أَيْ الِارْتِفَاعَ الْإِمَامُ لِتَعْلِيمِ الصَّلَاةِ أو لِغَيْرِهِ أو الْمَأْمُومُ لِتَبْلِيغِ تَكْبِيرَةِ الْإِمَامِ أو لِغَيْرِهِ اُسْتُحِبَّ لِتَحْصِيلِ هذا الْمَقْصُودِ

“Kemudian apabila imam butuh untuk berdiri lebih tinggi (dari makmum) karena untuk mengajari shalat atau selainnya, atau makmum lebih tinggi karena agar bisa menyampaikan takbirnya imam atau selainya, hal itu disunahkan karena untuk memenuhi tujuan tersebut.” (Lihat Zakariya al-Anshari, Asnal Mathalib Syarhu Raudlatit Thalib, juz, I, halaman 234). Dengan demikian poin penting yang harus digarisbawahi di sini adalah adanya kebutuhan atau tidak. Jika ada kebutuhan, itu menjadi sunnah.

Kesimpulan

Jadi bila tidak ada kebutuhan, ia menjadi makruh. Tetapi kesimpulan ini bukan tanpa persoalan, terutama yang terkait hukum makruh dalam konteks ini, yaitu ketika tidak ada keperluan atau hajat. Seberapa batas ketinggian tempat imam atau makmum yang memiliki konsekuensi hukum makruh? Di sinilah kemudian al-Bakri Muhammad Syatha ad-Dimyathi memberikan penjelasan yang hemat kami sudah cukup memadai. Menurutnya, tinggi dalam konteks ini tinggi yang kasat mata kendati hanya sedikit. Tetapi jika ‘urf menganggapnya itu tinggi, maka tetap dihukumi makruh.

Demikian uraian ini saya sampaikan, saya (Asmawi) sebagai Penulis mohon maaf bila pembaca tidak sefaham dengan kami, mohon abaikan saja  artikel ini. Semoga bermanfaat. Wassalam.