Tasyakuran Rumah Baru

Daftar Isi

Hukum Tasyakuran Rumah Baru

Tasyakuran Rumah Baru

Dalam kehidupan masyarakat Indonesia, terutama di lingkungan ASWAJA Nahdlatul Ulama (NU), tradisi keagamaan dan sosial sering kali berjalan beriringan. Salah satu tradisi yang melekat kuat adalah tasyakuran rumah baru — sebuah acara yang diselenggarakan sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT atas nikmat memiliki tempat tinggal baru. Namun, di balik tradisi ini muncul pertanyaan penting: bagaimana hukum tasyakuran rumah baru menurut pandangan NU? Apakah termasuk bid‘ah, atau justru dianjurkan karena mengandung nilai-nilai kebaikan?

Untuk menjawabnya, kita perlu melihat dari beberapa sudut pandang: dalil syukur dalam Islam, kaidah fiqih dan ushul dalam tradisi NU, serta praktik tasyakuran itu sendiri. Dengan cara ini, kita dapat memahami bahwa tasyakuran rumah baru bukan sekadar kebiasaan sosial, tetapi memiliki landasan teologis dan spiritual yang kuat. Baca di Fiqih.co.id


1. Makna Tasyakuran dan Latar Sosial Budaya

Tasyakuran Rumah Baru: Secara bahasa, tasyakuran berasal dari kata syukr yang berarti terima kasih atau pengakuan atas nikmat yang diterima. Dalam konteks Islam, syukur berarti memuji Allah SWT atas nikmat-Nya dengan lisan, hati, dan perbuatan. Sedangkan secara budaya, tasyakuran sering dimaknai sebagai acara makan bersama, doa, dan sedekah sebagai ungkapan syukur atas suatu peristiwa — misalnya kelahiran, pernikahan, panen, atau menempati rumah baru.

Dalam masyarakat Aswaja (Nahdhatul Ulama/NU), tasyakuran rumah baru bukan hal asing. Biasanya diisi dengan pembacaan ayat suci Al-Qur’an, tahlilan, doa bersama, dan jamuan sederhana. Tradisi ini bukan hanya bentuk rasa syukur, tetapi juga menjadi sarana silaturahmi dengan tetangga dan memperkuat ukhuwah islamiyah di lingkungan baru.

Namun, sebagian kalangan kadang mempertanyakan dasar hukumnya. Apakah ada dalil khusus dalam syariat tentang tasyakuran rumah baru? Jawabannya: tidak ada secara spesifik, tetapi semangatnya sejalan dengan prinsip-prinsip syukur yang diajarkan dalam Al-Qur’an dan Hadis.


2. Landasan Syukur dalam Al-Qur’an dan Hadis

Tasyakuran Rumah Baru; Syukur merupakan konsep yang sangat ditekankan dalam Islam. Banyak ayat Al-Qur’an yang memerintahkan umat Islam untuk bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah SWT. Di antaranya:

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu; dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7)

Ayat ini menunjukkan bahwa syukur merupakan sebab bertambahnya nikmat, sedangkan kufur nikmat bisa mendatangkan musibah. Maka, ketika seseorang memperoleh rumah baru — simbol dari ketenangan, keamanan, dan kemakmuran — sangat wajar bila ia mengekspresikan rasa syukurnya dengan bentuk amal dan doa.

Dalam hadis, Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ صُنِعَ إِلَيْهِ مَعْرُوفٌ فَقَالَ لِفَاعِلِهِ جَزَاكَ اللَّهُ خَيْرًا فَقَدْ أَبْلَغَ فِي الثَّنَاءِ
“Barang siapa yang diberi kebaikan lalu ia berkata kepada pelakunya: Jazakallahu khayran (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan), maka sungguh ia telah menunaikan pujian dengan sempurna.” (HR. Tirmidzi)

Hadis ini menunjukkan pentingnya mengungkapkan rasa terima kasih dan syukur atas kebaikan. Maka, dalam konteks rumah baru, mengadakan tasyakuran berarti mengekspresikan rasa syukur kepada Allah dengan cara mengundang orang lain untuk berdoa dan makan bersama — bentuk nyata dari pengakuan nikmat.


3. Pandangan Ulama ASWAJA (NU) tentang Tradisi Tasyakuran

Tasyakuran Rumah Baru; Nahdlatul Ulama dikenal dengan prinsip al-muhafazhah ‘ala al-qadim as-shalih wal akhdzu bil jadid al-ashlah — “memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik.” Prinsip ini menjadi dasar dalam menyikapi berbagai amalan sosial-keagamaan seperti tahlilan, yasinan, maupun tasyakuran.

Para ulama Ahli Sunnah wal Jama’ah (NU) memandang bahwa selama suatu amalan tidak bertentangan dengan syariat, tidak diyakini sebagai kewajiban agama, dan mengandung unsur kebaikan, maka amalan itu mubah atau bahkan mustahabb (dianjurkan).

Dalam Bahtsul Masail NU maupun kitab-kitab fiqih klasik, tidak ditemukan larangan terhadap tasyakuran rumah baru. Justru, kegiatan ini sejalan dengan konsep syukur, sedekah, dan silaturahmi, yang semuanya dianjurkan dalam Islam.

KH. Hasyim Asy’ari, pendiri NU, dalam beberapa tulisannya menegaskan pentingnya menjaga ‘urf (kebiasaan masyarakat) selama tidak bertentangan dengan akidah dan hukum syar‘i. Karena Islam tidak datang untuk menghapus budaya, tetapi untuk meluruskan dan menyucikannya.

Dengan dasar itu, tasyakuran rumah baru termasuk bagian dari ‘urf shahih (kebiasaan yang baik) yang bernilai ibadah bila disertai niat untuk bersyukur dan berbuat baik.


4. Kaidah Fiqih yang Menjadi Landasan

Dalam pandangan fiqih, para ulama NU menggunakan beberapa kaidah umum untuk menilai praktik-praktik sosial seperti tasyakuran, di antaranya:

  1. الأصل في الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم
    “Hukum asal segala sesuatu adalah boleh sampai ada dalil yang melarangnya.”

    Karena tidak ada dalil yang melarang mengadakan tasyakuran rumah baru, maka hukumnya mubah. Bahkan bisa menjadi sunnah jika diniatkan sebagai bentuk syukur dan sarana kebaikan.

  2. العادة محكمة
    “Adat (kebiasaan) dapat dijadikan hukum.”

    Kaidah ini menunjukkan bahwa tradisi yang baik dan tidak bertentangan dengan syariat dapat diterima dalam Islam. Selama tasyakuran tidak mengandung unsur kemusyrikan atau keyakinan bid‘ah, maka hukumnya boleh.

  3. الأمور بمقاصدها
    “Segala perkara tergantung pada niatnya.”

    Jika niatnya adalah untuk bersyukur kepada Allah, mempererat hubungan sosial, dan memohon keberkahan rumah baru, maka tasyakuran bernilai ibadah.


5. Tata Cara Tasyakuran Rumah Baru Menurut Tradisi ASWAJA

Meskipun tidak ada ketentuan baku, masyarakat NU biasanya menyelenggarakan tasyakuran dengan susunan acara sederhana namun sarat makna religius, seperti:

  1. Membaca Surah Yasin dan Tahlil
    Pembacaan Yasin dilakukan untuk memohon keselamatan dan keberkahan. Sementara tahlil menjadi bentuk doa bagi keluarga, baik yang masih hidup maupun yang telah wafat.

  2. Pembacaan Doa dan Shalawat
    Doa dipimpin oleh ustaz atau kiai, memohon agar rumah tersebut menjadi tempat yang penuh rahmat, dijauhkan dari bala dan gangguan, serta menjadi sumber ketenangan bagi penghuninya.

  3. Sedekah atau Jamuan Makan
    Pemilik rumah menyediakan makanan untuk para tamu. Ini termasuk sedekah yang berpahala besar, sebagaimana disebut dalam hadis:

    “Sebaik-baik makanan adalah yang dihadiri oleh orang fakir dan miskin.”
    (HR. Abu Dawud)

  4. Khotmil Qur’an atau Pembacaan Doa Perlindungan Rumah
    Beberapa keluarga juga menambahkan pembacaan ayat-ayat perlindungan seperti Surah Al-Baqarah ayat 255 (Ayat Kursi), Surah Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Naas, sebagai permohonan agar rumah dijauhkan dari gangguan jin dan keburukan.


6. Nilai Spiritual dan Sosial dari Tasyakuran

Tasyakuran rumah baru memiliki dua dimensi penting:

a. Dimensi Spiritual

Melalui tasyakuran, seseorang meneguhkan kesadarannya bahwa rumah bukan sekadar tempat tinggal, melainkan amanah dari Allah yang harus dijaga dan dimanfaatkan untuk kebaikan. Doa-doa yang dibacakan berfungsi sebagai permohonan perlindungan dari bahaya, gangguan makhluk halus, maupun kedengkian orang lain.

Selain itu, dengan membaca Al-Qur’an dan berzikir di rumah baru, suasana spiritual rumah menjadi hidup. Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ
“Sesungguhnya setan lari dari rumah yang dibacakan Surah Al-Baqarah.” (HR. Muslim)

b. Dimensi Sosial

Tasyakuran menjadi sarana mempererat hubungan dengan tetangga dan masyarakat. Dalam Islam, hubungan sosial memiliki nilai ibadah yang tinggi. Rasulullah ﷺ mengajarkan agar kita menyebarkan salam, memberi makan, dan mempererat silaturahmi. Tasyakuran rumah baru menjadi wujud nyata dari anjuran tersebut.


7. Hukum dan Kesimpulan dalam Perspektif ASWAJA

Berdasarkan prinsip syariat dan pandangan ulama, tasyakuran rumah baru hukumnya boleh (mubah), bahkan bisa menjadi sunnah jika diniatkan untuk bersyukur kepada Allah dan mempererat tali persaudaraan. Hukum ini didukung oleh beberapa alasan:

  1. Mengandung unsur syukur, yang merupakan kewajiban setiap Muslim atas nikmat Allah.

  2. Termasuk dalam sedekah dan silaturahmi, dua amalan yang sangat dianjurkan.

  3. Tidak ada larangan khusus dalam Al-Qur’an atau hadis.

  4. Selaras dengan kaidah fiqih dan prinsip ‘urf yang diakui dalam mazhab Syafi‘i — mazhab yang dianut mayoritas warga NU.

Namun, ulama NU juga menegaskan bahwa tasyakuran tidak boleh diyakini sebagai kewajiban agama atau sebagai sarana menolak bala dengan cara mistik yang tidak berdasar. Semua harus diniatkan semata-mata untuk mencari ridha Allah SWT.


8. Penutup: Memaknai Syukur sebagai Jalan Keberkahan

Rumah baru adalah anugerah besar. Ia bukan hanya bangunan fisik, melainkan juga simbol keamanan, ketenangan, dan kasih sayang keluarga. Karena itu, wajar bila umat Islam mengekspresikan syukurnya melalui tasyakuran.

Dalam pandangan NU, tradisi ini bukan sekadar warisan budaya, tetapi juga manifestasi nilai-nilai Islam yang hidup dan membumi: syukur, sedekah, silaturahmi, dan doa bersama. Dengan niat yang lurus dan tata cara yang benar, tasyakuran rumah baru menjadi amal saleh yang mendatangkan keberkahan — bagi penghuni rumah, tetangga, dan masyarakat sekitarnya.

Sebagaimana firman Allah SWT:

لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ
“Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu.” (QS. Ibrahim: 7)

Maka, marilah kita jadikan setiap nikmat — termasuk rumah baru — sebagai momentum untuk memperbanyak syukur dan memperkuat hubungan dengan sesama. Dengan demikian, rumah bukan hanya tempat bernaung, tetapi juga tempat beribadah dan menanam keberkahan